Jumat, 17 Mei 2013

BERCERMIN PADA KEHIDUPAN

Bercermin pada Kehidupan

Suatu hari, saya akan menghadiri sebuah majelis ta'lim yang  terdiri dari ibu-ibu yang bertempat tinggal di daerah Jombang, Bintaro dan sekitarnya. Tak banyak anggotanya, sekitar sebelas or ang. Awal bergabung dengan mereka, saya merasa agak jengah dan sedikit tidak nyaman. Maklumlah, pertama kalinya saya merasakan ` bergaul' dengan ibu-ibu muda berusia rata-rata
sepuluh tahun lebih tua daripada saya. Sempat saya ingin pindah ke kelompok maje lis ta'lim yang lain saja, bila ada. Tapi sampai sekarang, saya masih bertahan.
Hari itu, kegiatan akan diadakan di rumah sala h seorang anggota, yang tidak begitu jauh dari rumah saya. Bahkan inilah rumah terdekat yang pernah saya datangi sejak pindah ke  Bintaro. Biasanya bila akan menghadiri majelis ta'lim itu, saya harus naik angkot sampai dua kali. Lumayan jauh. Saya berangkat  sekitar setengah jam sebelum acara dimulai. Saat itu saya sama sekali
tidak tahu alamat pasti si empunya rumah, melainkan hany a mengandalkan arahan dari seorang teman saya saja. Yah, pastinya tidak jauh dari jalan masuk yang tadi ia sebutkan, pikir saya  begitu. Dan sekitar lima menit kemudian, sampailah saya di jalan masuk tersebut. Tadinya saya berniat untuk naik ojek saja ke da lam. Tinggal sebutkan nama pemilik rumah dan ciri-ciri
rumah, biasanya mereka tahu, begitu petunjuk berikutnya. Tapi sayangnya,  tidak satu pun tukang ojek yang saya temui. Lantas saya putuskan untuk berjalan saja masuk ke dalam, siapa tahu ada pangkalan o jek lainnya atau ojek yang lewat. Saya tidak ingin terlambat, malu dong, masa rumah paling dekat malah terlambat.
Saya berjala n terus sampai kira-kira beberapa ratus kilometer. Kaki mulai pegal, dan saya belum menemukan petunjuk apapun yang mendekati cir i-ciri rumah itu. Saya berinisiatif menelpon seorang teman, dan komentarnya adalah: "Wah! Kalau jalan sih masih jauh! Masuk-masu k ke dalam, susah juga ngasih taunya. Mending kamu tanya sama orang di warung aja deh." Begitu
katanya. Saat saya menelpon itu,  saya berada di depan sebuah masjid lumayan besar yang pastinya bisa jadi patokan. Dan saya pun lupa menanyakan nomor telepon si  pemilik rumah. Ya sudahlah, pasti bisa sampai, begitu tekad saya. Saya bertanya ke sebuah warung, dan petunjuk yang diberikan a dalah: "Dari jalan itu masuk aja ke dalam, belok kanan, nanti kalau ada
warung tanya lagi aja. Rumahnya masih jauh banget!" Beg itulah, saya akhirnya berjalan saja dan setiap kali ada warung, saya bertanya, dan mereka memberikan informasi yang
sama denga n orang terakhir yang saya tanya. Rupanya daerah tersebut belum memiliki nama-nama jalan. Rumah-rumah penduduknya pun jarang-jar ang, dari rumah satu ke rumah yang lain berjarak beberapa meter. Padahal lokasi tersebut berdekatan dengan komplek perumahan yan g lumayan besar. Jadi petunjuk yang paling praktis ya sebutkan saja nama si
pemilik rumah. Dan itu yang saya lakukan berulang-u lang: "Rumahnya bu Yuli, guru SD Annisa, isterinya pak Muslim yang punya kandang kambing itu di mana ya?"
Ketika jalanan sudah  hampir tak berujung, dan di sebelah kanan saya adalah tanah lapang yang besar sekali, di sebelah kiri hanya terdapat satu-dua r umah yang terkunci rapat, saya mulai khawatir tersasar. Tapi dari kejauhan saya melihat dua orang wanita berjalan. Mungkin pendu duk setempat. Saya langsung berlari mengejar mereka.
 Alhamdulillah...ternyata memang selalu ada petunjuk bila kita tak segan  bertanya. Mereka mengantar saya sampai sekitar dua puluh meter dari rumah yang dicari. Saat itu saya tak memikirkan bagaimana c ara pulang, yang tentu  saja harus ditempuh
dengan berjalan kaki juga. Saya sudah lupa rutenya. Sudahlah, nanti saja. Saya lang sung menuju rumah besar bercat oranye.  "Assalamu'alaikum! Bu Yuli ada, bu?"
"Bu Yuli? Wah, dia jam segini belum pulang kerja !" Saya nyaris pingsan mendengarnya. Seorang wanita setengah tua itu menatap saya dengan agak heran. Duh, sudah hampir
nyasar b egini, orangnya tidak ada? Lantas acara dipindahkan ke mana? Tapi rupanya itu hanya kejutan kecil saja. Seorang laki-laki yang d uduk bersama wanita itu beranjak dari kursi, dan tersenyum
pada saya. "Masuk aja lewat samping sini. Rumahnya menempel di belak ang situ, Neng." Katanya. Saya ragu sejenak. Tapi kemudian
wanita tadi berseru, "Oh iya! Ini kan hari Sabtu ya? Berarti ada tuh  orangnya!" katanya. Saya nyeng ir, lalu mengangguk dan mengucapkan terima kasih pada keduanya. %%[Page: 1]%%
Perjalanan panj ang itu berakhir juga. Waktu menunjukkan pukul dua kurang sepuluh. Hampir satu setengah jam di perjalanan? Hebat juga kedua kaki  saya ini. Saya duduk kelelahan. Dan satu per satu anggota majelis ta'lim itu mulai berdatangan, dua orang membawa anak-anak mer eka. Mereka sampai dengan wajah yang hampir sama dengan saya, tetapi tidak ada satu pun
yang berjalan kaki dari depan hingga sa mpai di situ. Kami semua tertawa-tawa kelelahan, mereka menertawakan saya yang dengan sangat mengenaskan musti menempuh jarak ya ng jauh dengan berjalan kaki. Lalu kami menyantap makanan kecil yang dihidangkan, dan mengobrol sebentar melepas lelah.
Hari i tu semua hadir di majelis dengan penat. Saya bersiap untuk kecewa bila acara tidak berjalan atau datang hanya untuk bersantai. T api ternyata itu tidak terjadi. Acara dibuka dengan tertib, kami bergantian tilawah Quran, salah satu dari kami membacakan tafsi r surat al-Lahab, lalu dilanjutkan dengan diskusi mengenai permasalahan majelis ta'lim lain yang ada di
daerah tempat tinggal k ami, seterusnya sampai waktu sudah menunjukkan pukul lima sore. Subhanallah. Saya nyaris tidak percaya bahwa kondisi-kondisi tak  terduga, seperti kesulitan mencapai lokasi dan keterlambatan dimulainya acara, tidak menjadikan pertemuan yang hanya seminggu s ekali itu menjadi tidak efektif. Jiwa saya kembali segar, penat saya hilang, dan
saya siap bila harus pulang dengan berjalan ka ki lagi. Sudah sekitar lima bulan saya menjadi bagian dari mereka. Dan rupanya saya mulai merasakan ikatan hati yang cukup kuat
pada mereka semua. Bahkan saya mengagumi mereka. Saya nyaris yang paling muda di antara mereka semua. Hampir semua sudah menik ah, memiliki anak dua-tiga-atau empat orang, tapi mereka tetap konsisten hadir di pertemuan, mengerjakan tugas dengan lumayan te rtib, bersemangat membahas permasalahan yang ada, dan saya tak segan untuk bercermin pada
ketegaran mereka semua. Sedikitnya sa ya mengetahui permasalahan keluarga yang mereka hadapi, t erhadap suami dan anak-anak, pekerjaan, dan lingkungan. Mereka mungkin  tak semua berasal dari keluarga berkecukupan. Tapi semangat mereka untuk menghadiri majelis ta'lim rutin, juga semangat dan tin dakan konkret berkontribusi dalam dakwah, itu semua
menjadi bahan renungan yang tak habis-habis buat saya. Dan saya seringkali  bertanya dalam hati, akankah saya tetap istiqomah seperti mereka sepuluh tahun dari sekarang? Semoga saja. Insyaallah. Amiin.

   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar